Tuesday, September 8, 2015

SIAPAKAH SYAFRUDIN PRAWIRANEGARA? PANTASKAH SYAFRUDIN PRAWIRANEGARA DIKATAKAN SEBAGAI PRESIDEN INDONESIA KE DUA ???

 


  
Gambar 2. Syafrudin Prawiranegara

Pada tanggal 19 Desember 1948 pukul 06.00 WIB Pagi Yogyakarta Ibukota RI mendapat serangan dari Belanda. Pada waktu yang sama pula satu jam kemudian pukul 07.00 WIB Bukittinggi di Sumatera yang disebut-sebut sebagai Ibukota RI kedua diserang oleh Belanda. Dengan keadaan darurat ini Sukarno-Hatta memimpin sidang kabinet yang memutuskan memberikan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang berada di Sumatera untuk membentuk Pemerintah Republik Darurat di Sumatera. Setelah memberikan mandat kepada Syafrudin, Belanda berhasil menangkap Sukarno-Hatta kemudian ditawan dan dibuang ke Pulau Bangka. Syafrudin bersama Tgk. Moh. Hasan dkk mengadakan perundingan untuk mengadakan pertemuan dan membahas pembentukan PDRI.
Pada tanggal 19 Desember 1948 di Bukittinggi terbentuklah Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan ketua Mr. Syafruddin Prawiranegara dan wk. Ketua Tgk.Moh. Hasan. Sehingga pada tanggal 22 Desember 1948 di Halaban Payakumbuh diumumkan telah terbentuknya PDRI lengkap beserta susunan kabinetnya. Setelah pengumuman tersebut, Syafrudin dan rombongan berangkat menuju Bangkinang dan menuju Pekanbaru, demi keamanan perjalanan maka dialihkan ke kiliran jao, Sungai Dareh, Muaro labuh, Bidar Alam dan sumpur kudus. Moh. Rasyid menuju suliki bermarkas di kototinggi, sedang kol Hidayat mengarah ke utara, Bonjol Pasaman, Tapanuli Selatan terus ke Aceh.
 Di Jawa dibentuk komisariat PDRI dipimpin Mr. Susanto Tirtoprojo, Jenderal Sudirman diangkat menjadi panglima angkatan perang PDRI. Selanjutnya untuk menunjukkan bahwa kekuatan TNI masih ada berarti pula menunjukan kepada dunia bahwa Pemerintah Indonesia masih ada, maka terjadi peristiwa penting dalam sejarah perang gerilya yaitu Serangan Satu Maret dibawah pimpinan Kolonel Suharto selama 6 Jam mampu merebut kembali Yogyakarta.Tanggal 14 April 1949 ditengah tengah suasana perang gerilya, Sukarno-Hatta dari pengasingan Bangka menugaskan Mr.Muh.Roem untuk mengadakan perundingan dengan Van Royen dari pihak Belanda. Pada tanggal 7 Mei 1949 lahirlah Roem-Royen statement. Menyikapi Roem-Royen statement tersebut pada tanggal 14 Juni 1949 PDRI mengadakan MUBES di Sumpur Kudus dan mengambil 4 keputusan penting yang cukup berbeda.
Tanggal 6 Juli 1949 Delegasi Natsir beranggotakan Dr. Leimena, dr Halim dan Agus Yaman diutus oleh Sukarno-Hatta untuk mengadakan perundingan dengan delegasi Syafruddin (PDRI) bertempat di Padang Jopang, Tujuh Koto Talago, Payakumbuh, Kab. Limapuluh kota. Perundingan berjalan alot, dimana Roem-Royen statement dan hasil MUBES SUMPUR KUDUS  mengemuka. Perundingan berjalan sangat alot dan hampir mengalami dead lock, namun setelah Leimena, Halim dan Natsir silih berganti menyampaikan bahwa sekarang ini nasib republik sedang dipertaruhkan. Akhirnya Syafruddin menyatakan bersedia ikut kembali ke Yogyakarta untuk menyerahkan kembali mandat PDRI.
Tanggal 7 juli 1949 PDRI mengadakan rapat umum perpisahan dengan masyarakat di lapangan koto kociak padang japang, pada tanggal 8 juli 1949 Syafruddin dan Natsir beserta rombongan meninggalkan Padang Jopang menuju Payakumbuh- Bukittinggi- Padang- Jakarta dan Yogyakarta. Pada tanggal 10 juli Sjafruddin dan rombongan menuju Yogyakarta bersamaan dengan Jenderal Sudirman yang melakukan perjalanan menuju Yogyakarta. Tanggal 13 Juli 1949 dalam satu sidang kabinet khusus, Sjafruddin Prawiranegara, “Sang Presiden Darurat” menyerahkan kembali mandat PDRI kepada Sukarno-Hatta . Berakhirlah tugas perjuangan PDRI.
Dapat dipahami bahwa kondisi Republik Indonesia pada masa itu yang mengalami serangan Agresi Militer Belanda ke dua dan berhasil menangkap pemimpin bangsa ini. Syafrudin Prawiranegara yang mendapat amanat dari Presiden Sukarno membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Bukit Tinggi dengan tujuan menunjukan pada dunia bahwa pemerintah Republik Indonesia masih tetap ada, walaupun pemimpin bangsa saat itu ditangkap oleh Belanda. Syafrudin Prawiranegara berhasil menjaga eksistensi keberadaan Republik Indonesia di Bukit Tinggi dengan membentuk Pemerintahan Darurat lengkap dengan anggota kabinetnya. Betapa mengerikan jika PDRI tidak terbentuk dan jatuh ke tangan Belanda serta kepiawian seorang Syafrudin Prawiranegara yang berhasil menjaga keberlangsungan Pemerintah Indonesia sepatutnya menjadi perhatian besar bagi generasi penerus bangsa ini. Disaat pemimpin negeri ini ditangkap oleh Belanda, serta Syafrudin Prawiranegara berhasil menjaga kedaulatan dengan terbentuknya PDRI, apakah Layak dia dikatakan sebagai presiden RI ke dua? Pembacalah yang dapat menyimpulkanya.....




SIAPAKAH KAHAR MUZAKAR? LAYAKAH DIA DIJADIKAN SEBAGAI PAHLAWAN ATAUKAH PEMBERONTAK ???


 

Gambar 1. Kahar Muzakar Pendiri DI/ TII di Sulawesi
Pertanyaan sedikit terlintas dipikiran bahwa siapakah Kahar Muzakar? Nama lengkap Abdul Qahar Muzakkar lahir di Lanipa Kabupaten Luwu pada tanggal 24 Maret 1921. Semasa hidupnya pada masa penjajahan dia mengabdikan diri sebagai pejuang kemerdekaan dalam melawan penjajah. Beberapa bulan pasca kemerdekaan Indonesia, banyak wilayah Sulawesi yang didatangi pasukan asing terutama dari Australia dan Sekutu, kejadian ini menyebabkan masyarakat khususnya pejuang negara harus mempertahankan kemerdekaan dan melakukan perlawanan terhadap pasukan sekutu tersebut. Kahar Muzakar yang merasa lahir di Sulawesi tidak terima akan tindakan pasukan sekutu, dia bersama Andi Mattalatta mengusulkan pembentukan Tentara Republik Indonesia (TRI) kepada Pangima Besar Jenderal Sudirman, usulan tersebut diterima bersama Andi Mattalatta, Kahar Muzakar ditugasi untuk berangkat ke Sulawesi.
Ditengah usaha melakukan perlawanan pasukan sekutu, pemerintah Indonesia dihadapkan pada masalah baru yaitu penyelesaian pasukan gerilya. Yang dimaksud dengan pasukan gerilya disini yaitu sekumpulan pejuang kemerdekaan yang ingin segera diangkat menjadi Angkatan Pemuda Republik Indonesia. Dalam masalah ini Kahar Muzakar mengutus staff kepercayaanya Lettu Saleh Sjahban untuk bernegosiasi dengan pasukan laskar gerilya, dalam usaha ini lettu Saleh mengalami kegagalan sehingga Kahar Muzakar mengambil inisiatif lain dan membentuk Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS).
Dalam perkembanganya Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan mampu menjadi wadah bagi pasukan gerilya Sulawesi Selatan sehingga Kahar Muzakar mengusulkan kepada pemerintah Republik Indonesia agar kesatuan gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) diangkat menjadi Divisi Hasanuddin dan menetapkan Overste Kahar Muzakar sebagai pemimpin Divisi. Sebenarnya usulan dari pembentukan KGSS menjadi Divisi Hasanudin berasal dari pembentuk KGSS yang notabene bawahan dari Kahar Muzakar yang saat itu berpangkat Letnan Kolonel yang menganggap jasa dari Kahar Muzakar sangat besar dalam mempertahankan kemerdekaan di wilayah Jawa.
Dalam kenyataanya justru usulan dari Letkol Kahar Muzakar menjadi masalah bagi KGSS itu sendiri. Komandan Teritorium Wirabuana menilai bahwa KGSS tidak mematuhi aturan yang berlaku karena memaksa untuk diterima sebagai anggota Angkatan Pemuda Republik Indonesia (APRI). Sehingga upaya KGSS untuk menjadi bagian dari APRI gagal. Dalam perkembanganya karir Kahar Muzakar melaju sangat bagus karena hanya putra daerah Sulawesi Selatan yang berpangkat Letnan Kolonel yang ada di tubuh Tentara Republik Indonesia (TRI). Dalam perkembangan Karir seorang kahar Muzakar pernah menjadi komandan persiapan TRI- Sulawesi dan berhasil mengajak  tokoh- tokoh daerah dalam pembentukan TRI di Sulawesi. Dari sinilah Kahar Muzakar berhasil mengirim pasukan TRI untuk menjaga keamanan dan memperkuat perlawanan kepada Belanda di wilayah Sulawesi.
Dalam perkembanganya terjadi masalah didalam tubuh TRI itu sendiri yaitu dengan ditunjuknya Komandan Brigade XVI Letkol J.F Warrouw. Kegagalan dalam menduduki jabatan sebagai kepala Komandan Brigade XVI inilah yang menjadikan Kahar Muzakar melepaskan jabatanya sebagai wakil komandan Brigade XVI. Selanjutnya Kahar bergabung dengan Kolonel Bambang Supeno, dan dari sinilah dia mendapat tugas untuk membentuk komando Seberang antara lain Kalimantan, Sunda kecil, Sulawesi, dan Maluku Kecil. Dalam perjalananya terjadi reorganisasi kemiliteran di tubuh APRI yang mengharuskan komando Seberang dihapuskan serta terjadi pertentangan antara APRI dan perwira di markas besar menjadikan Kahar Muzakar kembali ke Sulawesi Selatan dan menjadi pemberontak.
Setelah keluar dari tubuh APRI, Kahar Muzakar membentuk gerakan Darul Islam (DI) atau Tentara Islam Indonesia (TII) yang beranggotakan mereka yang pernah ikut membela dan mempertahankan kemerdekaan bangsa yang tidak dihargai jasa- jasanya oleh Pemerintah. KGSS yang menginginkan untuk diterima sebagai anggota secara utuh didalam Angkatan Pemuda Republik Indonesia- Sulawesi (APRIS). Mereka kemudian bersatu membentuk gerakan yang mengambil jalan perlawanan kepada pemerintah dan dalam hal ini Kahar Muzakar diangkat menjadi pemimpinya yang dikenal dengan DI/ TII.
Dalam perkembanganya gerakan DI/ TII yang dipimpin Kahar Muzakar berkembang sangat pesat dan melakukan pemberontakan terhadap pemerintah. Markas besar tentara berusaha memanggil Kahar Muzakar untuk melakukan perundingan akan tetapi selalu menemui jalan kebuntuan sehingga Markas Besar Tentara membentuk operasi kilat atau Operasi Tuntas dalam menumpas gerakan DI/ TII. Operasi kilat dengan dipimpin oleh Pangdam XIV / Hasanuddin Brigjen Andi Muhammad Yusuf bersama pasukanya berhasil menumpas gerakan DI/ TII dan berhasil menewaskan Kahar Muzakar pada tahun 1965.
Untuk menjelaskan posisi seorang Kahar Muzakar sepatutnya pembaca dapat memposisikan kapan seorang Kahar Muzakar menjadi Pahlawan dalam melawan penjajahan Belanda serta berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia, serta kapan seorang Kahar Muzakar menjadi pemberontak yang berusaha melakukan perlawanan terhadap Pemerintah Republik Indonesia. 


Sumber pustaka ;
Hadiwijoyo, Suwelo. 2013. Kahar Muzakar Dan Kartosoewirjo. Jogjakarta: Palapa